Risalah IJTIHAD - TAQLID KH Bisri Musthofa
Risalah
IJTIHAD - TAQLID
KH Bisri Musthofa
Judul Asli:
Risalah Ijtihad-Taqlid
Penulis: KH Bisri Musthofa
Pertama diterbitkan:
Menara Kudus, Tahun 1374 H
Judul Alih Bahasa:
Risalah Ijtihad-Taqlid
Alih Bahasa: Ahmad Rofik
Penyunting: Ustadz Muhdi
Editor: Abdul Kafi
Cetakan ke-1 : Rabi’ul Awwal 1429 H / Maret 2008 M
Cetakan ke-2 : Rabi’ul Awwal 1430 H / Maret 2009 M
Diterbitkan dan diedarkan:
Pondok
Pesantren Putra Putri Assalafiyyah
Jl. Dr. Soeparno, No. 18 Karangwangkal,
Purwokerto Utara, 53123
Telp (0281) 628840
Jawa Tengah
Pengantar Alih
Bahasa
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمٍ
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ , وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ.
Hanya dengan pertolongan Allah azza wa jalla semata usaha alih
bahasa ini dapat selesai, dari kitab Risalah Ijtihad-Taqlid karya
Almaghfur Allah KH. Bisri Musthofa, semoga Allah SWT merahmati dan
meridhai, bertuliskan Arab dengan tutur bahasa Jawa. Ikhtiar alih bahasa
ini untuk mempermudah pembaca kalangan umum. Sehingga kita dalam melakukan syiar
dan mengamalkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah lebih luas dan
lebih mantap lagi, dengan sikap toleran. Usaha ini sekaligus sebagai tabarruk
kepada ulama Allah, wali allah.
Meski kitab ini sudah berumur lebih
dari 50 tahun, namun masih tetap relevan, seiring dengan “serangan” dari
golongan umat Islam lain yang terus merendahkan ajaran, amaliah ahlussunnah
wal jama’ah. Kita harus menjaga ajaran yang kita yakini ini dengan istiqomah
mengamalkan. Ketika kita tinggalkan amaliah ahlussunnah wal
jama’ah, maka mereka tentu
tidak
akan “menyerang” lagi. Lebih baik sedikit bicara, banyak kerja (amal)
disertai dengan terus belajar dan mendekat kepada para kiai-’alim, ulama
Allah ketika menghadapi mereka. Toh kita beribadah dengan yakin hanya
karena Allah, mengharap ridha Allah. Jangan sampai kita banyak
bicara (berdebat, argumentasi) tetapi justru lalai, meninggalkan amaliah yang
kita bela.
Saya tertarik dengan pesan dan ajaran guru ruhani saya, Mbah KH Syarif
Nurkholish, semoga Allah SWT merahmati, mursyid thariqah qadiriyyah wa
naqsyabandiyyah, Karangwangkal-Purwokerto, menerima pesan dan ajaran dari
guru mursyid beliau, almaghfur Allah Mbah KH Mohammad Sanusi,
Langen-Banjar, semoga Allah SWT merahmati dan meridhai, mengatakan: ”yang
salah saya, bukan orang lain; yang jahat saya, bukan orang lain; yang bodoh
saya bukan orang lain; dan yang muhammadiyah juga saya, bukan orang lain”.
Tinggalkan kesukaan menilai rendah orang lain, tapi lihatlah diri
sendiri. Rubahlah mulai dari diri sendiri: untuk berbuat benar; bertaubat
dari perbuatan jahat; jangan mengaku pandai tetapi teruslah belajar dan
mendekat kepada para kiai-ulama
Allah; jangan mengaku
orang NU hingga mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah an-nahdliyyah, (seperti;
cinta sholawat Nabi, tasawuf dengan berthariqah, cinta wali Allah dengan ziarah
dan baca manaqib dll).
Alih bahasa ini dapat dikerjakan atas ijin guru mursyid saya Mbah
KH Syarif Nurkholis, semoga Allah merahmati, yang telah mendapat ijin
dari KH Mustofa Bisri, Rembang. Alih bahasa ini masih jauh dari
sempurna, maka mohon maaf jika terdapat kekeliruan, hal ini semata karena
kebodohan saya. Semoga lain kesempatan dapat disempurnakan. Dengan mengharap ridha
Allah, semoga kitab kecil, ”buku saku” ini dapat bermanfaat sebagai rujukan
dasar bagi kita dalam melaksanakan amaliah ahlussunnaah wal jama’ah
an-nahdliyyah.
Akhirnya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni segala dosa
kita, melimpahkan taufiq, hidayah, ’inayah kepada kita semua dan
senantiasa memohon syafa’at Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Purwokerto, Rabi’ul Awwal 1429 H
Maret
2008 M
Kata Pengantar
Penulis
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمٍ
اَلْحَمْدُ للهِ حَقَّ حَمْدِهِ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَآلِهِ. (اَمَّابَعْدُ)
Oleh karena banyaknya pertanyaan
tentang ahlussunnah wal jama’ah dan istilah bermadzhab, maka
dalam risalah kecil ini saya tulis keterangan-keterangan soal tanya-jawab yang sering
muncul berkaitan dengan hal tersebut. Kiranya ini dapat digunakan sebagai
benteng bagi para ikhwan ahlussunnah wal jama'ah sendiri.
Penulis mempunyai maksud, risalah
ini dapat bersambung sehingga dapat mengikuti perkembangan berkaitan dengan
persoalan yang terus bermunculan tentang bab-bab tersebut.
Wa billahi taufiq
Rembang, Jumadil
‘Ula 1374 H
KH. Bisri Musthofa
Dengan wasilah
kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
wali-wali Allah, ulama-ulama Allah,
guru-guru mursyid kita,
khususnya kepada almaghfur Allah
KH Bisri Musthofa penulis karya ini,
semoga kita mendapat barokahnya
al-fatihah...
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمٍ
1.
Soal: Akhir-akhir ini kita sering mendengar ahlussunnah wal
jama'ah. Apa yang dimaksud dengan ahlussunnah wal jama'ah?
Jawab: Ahlussunnah wal jama'ah merupakan istilah dari kata ahlussunnah
dan ahlul jama'ah. Yang dimaksud Ahlussunnah yaitu orang
Islam yang dalam beraqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dan Imam Maturidi, seperti disebut dalam kitab Tijanuddurari,
Kifayatul ‘Awam dan kitab lain-lainnya.
Adapun yang dimaksud Ahlul Jama’ah yaitu orang
Islam yang dalam hal hukum fiqih mengikuti salah satu madzhab empat:
Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.
2.
Soal: Apa yang maksud dengan madzhab tersebut?
Jawab: Madzhab itu artinya jalan, rel, faham. Jadi kalau madzhab Syafii
artinya jalannya Imam Syafii. Madzhab Hanafi artinya fahamnya Imam
Hanafi, demikian seterusnya.
3.
Soal: Jika demikian, di dalam agama Islam ini ada beberapa
jalan atau berbagai faham yang lebih dari satu? Padahal al-Qur’annya satu,
Nabinya juga satu.
Jawab: Hal ini mestinya tidak perlu dipertanyakan. Sebab sudah
maklum meskipun al-Qur’an dan Nabi-nya satu, namun fahamnya
berbeda-beda.
4.
Soal: Apakah ada orang Islam yang aqidahnya tidak
sejalan dengan Imam Maturidi dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari?
Jawab: Banyak dan bermacam-macam. Seperti penganut Ibnu Taimiyah
yang mempunyai faham bahwa Allah itu jisim (berbentuk), artinya
mempunyai tangan dan mata, namun tidak seperti tangan dan mata manusia.
5.
Soal: Apakah ada orang Islam yang tidak mengikuti salah satu
dari empat madzhab tersebut?
Jawab: Ada, malah ada yang mengikuti (membuat) madzhab sendiri.
6.
Soal: Apa sebabnya orang Islam yang mengikuti salah satu madzhab
empat disebut ahlul jama’ah?
Jawab: Ahlul jama’ah itu artinya golongan yang banyak. Dimana menurut
penelitian bahwa umat Islam di seluruh dunia sebagian besar (90%) mengikuti
salah satu dari mazhab empat tersebut.
7.
Soal: Apakah orang Islam itu harus bermadzhab?
Jawab: Bermadzhab itu artinya taqlid. Seandainya orang Islam itu
tidak taqlid artinya harus berijtihad. Sebab tidak ada wasithoh
(perantara) antara ijtihad dan taqlid.
8.
Soal: Apa yang di maksud dengan taqlid dan apa yang dimaksud dengan ijtihad?
Jawab: Taqlid artinya didalam mengamalkan perintah mujtahid
tidak disertai dengan mengetahui sumber-sumber hukum perintah tersebut. Adapun ijtihad
artinya mengambil hukum secara selektif dan teliti dari al-Qur’an dan Hadits.
9.
Soal: Apakah kita tidak boleh melakukan ijtihad sendiri
dari al-Qur’an dan Hadits?
Jawab: Tidak boleh. Kecuali orang yang telah mempunyai derajat ijtihad
10.
Soal: Apa saja syarat orang untuk mempunyai derajat ijtihad?
Jawab: Syaratnya harus mengetahui :
1. Bahasa Arab.
2. ‘Ilmu
al-‘Arabiyah
3. ‘Ilmu Ushul
4. ‘Ilmu Balaghah
5. Muta’alliqul
ahkam min kitabi wa sunnah
6. ‘Ilmu Nasikh wa
Mansukh
7. Asbabunnuzul
8. Syarthul
mutawatiri wal ahad
9. Ash shohihi
wadh dhoifi
10. Halurruwah
11. Soal: Jika demikian
bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut maka tidak boleh berpegangan pada al-Qur’an
dan Hadits? Padahal kita diperintahkan berpegangan pada al-Qur’an
dan Hadits?
Jawab: Orang yang taqlid tidak berarti lepas dari al-Qur’an
dan Hadits. Sebab mujtahid yang ditaqlidkan tersebut
juga tidak lepas dari al-Qur’an dan Hadits.
Kalau anda meminum air pancuran (pipa air) itu tidak berarti bahwa anda
tidak minum air sumber. Sebab air pancuran tersebut juga berasal dari sumber
air.
12. Soal: Apakah ada
dalilnya dari al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan kita harus taqlid?
Jawab: Dalilnya banyak. Seperti;
فَسْئَلُوْا اَهَلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ
fas alu ahladz dzikri in kuntum la ta’lamun
Artinya:
bertanyalah kalian semua kepada ahlinya yang mengetahui, jika kalian semua
tidak mengetahui. Perintah sebuah Hadits:
عَلَيْكُمْ
بُِنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
‘alaikum bisunnaty wa sunnatil khulafairrasyidinal mahdiyyin
Artinya:
berpeganglah kalian semua atas sunah-sunahku dan atas apa yang dikerjakan
oleh para khalifah-khalifah yang cerdas lagi mendapat petunjuk. Hadits
lain menyebutkan:
اَلْعُلَمَآءُ
وَرَثَةُ اْلاَنْبِيَآءِ
al’ulama-u waratsatul anbiya
Artinya:
ulama–ulama itu pewaris para Nabi. Dan masih banyak lagi, kalau saya tulis
semua dapat menghabiskan kertas.
13. Soal: Jika demikian,
berarti Islam tidak memberikan hak kemerdekaan berpikir?
Jawab: Islam tetap memberikan hak kemerdekaan berpikir. Namun
dengan batas-batas tertentu dan tidak bersifat mutlak. Sebab jika kemerdekaan
berpikir tersebut dilepas bebas tanpa batas, maka dunia ini akan rusak.
Hurriyatal fikri, hurriyatal kitabah, hurriyatal ‘amal, hal itu semua
harus muqayyadah (dibatasi).
14. Soal: Akan tetapi
pada umumnya orang yang mengatakan taqlid kepada Imam Syafii tidak
menggunakan kitabul Um, tetapi hanya berpegangan pada kitab Fathul
Mu’in, Fathul Qarib saja?
Jawab: Jawabannya sama seperti pertanyaan soal no 11.
15. Soal: Kalau kita ini
harus taqlid, terus bagaimana dengan perintah Imam Syafii sendiri yang
mengatakan لاَ تُقَلِّدُوْنِىْ La tuqalliduni (janganlah kalian semua taqlid kepadaku).
Jawab: Pernyataan Imam Syafii tersebut belum sempurna. Maka
harus diteliti, dicermati terlebih dahulu; taqlid dalam bab apa?; siapa
yang dilarang taqlid?; terus bagaimana?; dan seterusnya.
Jika pernyataan tersebut hanya dipahami lahirnya saja (jangan bertaqlid kepada
Imam Syafii), mestinya taqlid kepada selain Imam Syafii juga tidak
boleh. Artinya umat Islam seluruh dunia harus berijtihad sendiri-sendiri.
Dengan demikian maka bertentangan dengan jawaban soal no 12.
Jika ada orang Indonesia yang sama sekali tidak mengerti bahasa Arab,
kemudian bertanya kepada anda; Bagaimana Islam itu? Selanjutnya anda jawab;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ :
بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ. شَهَا دَةِ اَنْ لآ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ
مُحَمَّدَ رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصًّلاَةِ ...الخ.
Qala rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam; buniyal
islamu ‘ala khamsin, syahadati
an-la ilaha illa allah wa anna Muhammadarrasulullah, wa iqamash-sholah, ila
akhirihi (al-Hadist)
Mestinya anda jawab dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia saja. Karena
jawaban anda tersebut, artinya sama saja dengan anda mengarahkan kepada orang
tersebut untuk taqlid kepada anda. Bukankah demikian? Apakah orang
tersebut harus belajar terlebih dahulu sampai menjadi mujtahid sendiri?
16. Soal: Imam Syafii
sendiri pernah mengatakan
اِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُو مَذْهَبِى
Idza shohal haditsu fahuwa madzhabi. Apa
maksudnya?
Jawab: Ini pernyataan biasa. Menunjukkan bahwa hadits-hadits yang
menjadi pegangan Imam Syafii semuanya merupakan hadist shohih. Asal ada hadist
yang shahih maka diakui sebagai madzhab Imam Syafii.
17. Soal: Bagaimana jika
perintah mujtahidin tersebut bertentangan (tidak sesuai) dengan al-Qur’an
dan Hadits?
Jawab: Tidak ada yang tidak sesuai. Sebab perintah mujtahidin
tersebut pastilah bersumber kepada al-Qur’an dan Hadits.
18. Soal: Buktinya ada,
seperti bab tarawih. Haditsnya berbunyi 8 rakaat, namun
kitab-kitab fiqih berbunyi 20 rakaat.
Jawab: Anda mau tarawih 20 rakaat ya bagus, anda
mau tarawih 8 rakaat ya silahkan. Anda tidak mau tarawih juga
boleh. Cuma saja, anda hanya melihat 1 (satu) hadits tersebut.
Padahal didalam hadits lain yang telah diteliti oleh para ulama,
bahwa memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat
tarawih di dalam masjid 8 rakaat, selanjutnya diteruskan di dalam
rumah beliau sampai dengan jumlah 20 rakaat. Hal tersebut merupakan
siasat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri.
Maka ketika orang-orang ramai berjamaah tarawih di dalam masjid
dengan melaksanakan tarawih lebih dari 8 rakaat, sahabat Umar
mengatakan;
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
ni’mal bid’atu hadzihi
Artinya:
sebaik-sebaik bid’ah adalah bid’ah ini.
19. Soal: Jika demikian,
berarti kita lebih memperhatikan perintah sahabat Umar daripada apa yang
dilaksanakan oleh Rasulullah?
Jawab: Ingat jawaban no. 12. Disamping itu mengikuti sahabat
Umar artinya sama juga mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
menyampaikan:
اِقْتَدُوْا
بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِىْ اَبِى بَكْرِ وَعُمَرْ
Iqtadu bil
ladzaini min ba’di Abi Bakrin wa Umar
Artinya:
Ikutlah kalian semua kepada dua orang setelah aku yaitu Abu Bakar dan Umar.
20. Soal: Apakah dengan
demikian tidak bertentangan dengan apa yang diperingatkan oleh Rasulullah;
مَنْ اَحْدَثَ
فِى اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
Man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun.
Artinya:
barang siapa yang membuat ajaran baru setelah aku, maka ditolak.
Jawab: Hal ini tidak bertentangan, bahkan dapat diartikan
sejalan. Barang siapa yang membuat ajaran baru dalam agama Rasulullah yaitu
atas apa saja yang tidak ada sumber hukumnya dari agama, maka ditolak.
Jadi yang ditolak adalah amaliah atau ajaran yang tidak mempunyai
landasan atau sumber hukumnya. Seperti sholat dhuhur dibuat 5 rakaat,
wudlu dengan mengusap pusar, itu marduda (ditolak).
Tetapi kalau ulama madzhab mengatakan tarawih 20 rakaat jelas
mempunyai dasar-dasar yang cukup.
21. Soal: Hal yang lebih
penting lagi yaitu tentang tawasul, do’a istiqhotsah, dan ziarah
kubur. Kitab-kitab fiqih memperbolehkan dan menganjurkan. Padahal
di dalam ayat-ayat al-Qur’an sudah
jelas tidak diperbolehkan
berdo’a memohon kepada selain Allah. Seperti ayat:
فَلاَتَدْعُوْا مَعَ اللهِاَحَدًا. وَلاَ تَدْعُ مِنْ
دُوْنِ اللهِ مَالاَيَنْفَعُكَ وَلاَ
يَضُرُّكَ.
fala tad’u ma’a Allahi ahada; wala tad’u min
dunillahi ma la yanfa’uka wa la yadhurruka,
dan ayat-ayat lainnya lagi.
Jawab: Anda keliru, ayat yang mestinya ditujukan kepada kaum musyrikin,
terus anda sambungkan kepada kaum muslimin. Kita kaum muslimin
tawasul dan ziarah kubur orang-orang sholeh itu tidak beranggapan
bahwa para sholihin itu sebagai dzat yang kita sembah. Kita hanya
tabarruk (mengharap barokah) kepada para kekasih Allah (wali Allah).
22. Soal: Apakah tawasul itu ada dalilnya?
Jawab: Banyak. Allah memerintahkan;
يَآاَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Ya ayyuhalladzina amanuttaqu Allaha wabtaqhu ilaihil
wasilah.
Demikian juga sebuah hadits menyebutkan;
قَالَ ابْنُ
عَبَّاسْ اِنَّ الْوَسِيْلَةَ كُلُّ مَا يَتَقَرَّبُ بِهِ اِلَى اللهِ
Qala ibnu Abbas innal wasilata kullu ma yataqarrabu bihi
ila Allah.
23. Soal: Wasilah itu bukankah
berarti amal?
Jawab: Memang kalau mengikuti para penafsir thaifatun
wahhabiyatun (golongan wahabi) seperti anda itu. Tetapi saya minta
didalami, dicermati. اتَّقُوااللهَ(Ittaqu Allaha) itu perintah taqwa. Taqwa itu -
فِعْلُ
الْمَأْمُوْرَاتِ وَتَرْكُ الْمَنْهِيَّاتِ fi’lul
ma’murati wa tarkul manhiyyati. Jadi perintah ittaqu Allaha itu sudah perintah amal.
Kalau wasilah ditafsiri amal, itu jadi takrar.
24. Soal: Selain ayat
tersebut apakah masih ada lagi?
Jawab:
وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْظَلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ جَاءُ كَ
فَسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُواللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا
Walau annahum idz-dhalamu anfusahum ja uka fastaqhfaru
ala Allaha wastaqhfara lahumur rasulu lawajadu Allaha tawwabarrahima.
Dari ayat tersebut anda mengetahui bahwa terkabulnya istighfar kaum dhalimin
itu tergantung dari istighfar Rasulullah. Ayat tersebut jelas
menunjukkan diperbolehkannya tawasul kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
25. Soal: Apakah dalil
dari hadits juga ada?
Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa:
اِغْفِرْ لِأُمِّى فَاطِمَةَ بِنْتَ اَسَدٍ وَوَسِّعْ
عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ
وَاْلاَنْبِيَآءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى (رَوَاهُ الطَّبْرَنِى فِى
الْكِبَرِ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانْ وَالْحَاكِمْ عَنْ اَنَسِ ابْنِ مَالِكِ)
Iqhfir li ummi Fatimata binta asadin wa wassi’ ‘alaiha
mad khalaha bihaqqi rabiyyika wal an biyailladzina min qabli (rawahu Thabrani
fil kibari wa shohahahu Ibnu Hibban wal Hakimi ‘an Anasi Ibnu Malik).
26. Soal: Apakah boleh bertawasul
kepada orang yang sudah meninggal?
Jawab: Anda lihat,
perhatikan dengan jelas bahwa
( وَاْلاَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِىْ ) (Nabi-nabi sebelum Rasulullah( sudah meninggal ketika Rasulullah berdo’a kan?.
Artinya masih hidup atau sudah meninggal sama saja. Sebab yang menjadi
pokok adalah tabbaruk. Adapun yang memberi dan mengabulkan fil
haqqiqah hanya Allah ta’ala.
Ketika terjadi kelangkaan air, kekeringan karena tidak terjadi hujan pada
masa khalifah Umar Ibnu Khatab, sahabat Bilal Ibnu Harits ziarah ke
makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan;
يَا رَسُوْلَ
اللهِ اِسْتَسْقِ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ هَلَكُوْا ... الخ
Ya Rasulullah istasqi liummatika fainnahum halaku..
27. Soal: Tahlil, selamatan,
berdoa dengan maksud pahalanya disampaikan kepada orang yang ditahlilkan dan
orang yang dihajatkan dalam selamatan tersebut, apakah hal ini tidak
bertentangan dengan ayat;
وَاَنْ لَيْسَ لِلْأِ نْسَانِ اِلاَّ مَاسَعَى
wa an-laisa lil insani illa ma sa’a;
وَلاَ
تَزِرُوَازِرَةٌ وِزْرَاُخْرَى. وَلاَ تُجْزَوْنَ اِلاَّمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
wa la taziru waziratun wizra ukhra; wa la tujzauna illa
ma kuntum ta’malun.
Jawab: Hal ini sama sekali tidak bertentangan. Coba anda pikir
dengan tenang. Ayat yang anda sebutkan pertama tadi pada dasarnya, bahwa orang
tersebut tidak akan mendapat balasan kecuali balasan atas amalnya sendiri. Hal
itu sudah jelas benar.
Seperti, Zaid tidak akan mendapat gaji kecuali gaji dari hasil pekerjaannya
sendiri. Jadi, gajinya Umar tidak dapat diterima oleh Zaid. Akan tetapi jika
gajinya Umar --seluruh atau sebagian dari gajinya-- diberikan kepada Zaid apa
susahnya, tidak ada yang dapat menghalangi. Demikian juga dengan ayat lainnya
dapat anda qiyaskan sendiri.
28. Soal: Jika demikian,
apakah orang kafir dapat kita beri (kirim) pahala (do’a) sehingga dapat masuk
surga?
Jawab: Kalau orang kafir sudah sangat jelas ada nashnya;
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى اَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ اَبَدًا
wala tushalli ahadin minhum mata abadan
Artinya:
janganlah kamu mendoakan orang kafir, meskipun hanya satu orang dari
mereka, yang telah mati selamanya.
29. Soal: Orang yang
meninggal terus dibacakan talqin dan dipanggil يَاعَبْدَاللهِ ابْنَ اَمَةِ اللهِ
“ya abdallahi ibna amatillah”, hal
tersebut apa perlunya? Sebab, bukankah orang tersebut sudah meninggal dan tidak
dapat mendengar?
Jawab: Anda koq tahu, jika orang yang sudah meninggal tersebut
tidak dapat mendengar? Apa anda sudah pernah meninggal?
30. Soal: Ya belum
pernah meninggal. Sementara yang dapat mendengarkan adalah telinga dan jasad
orang tersebut sudah dimasukkan ke dalam kubur?
Jawab: Kalau yang dapat mendengarkan telinga, mestinya ketika
anda tidur dapat mendengarkan. Mengapa anda tidak dapat mendengarkan?
31. Soal: Terus apa yang
menjadikan orang tersebut dapat mendengarkan?
Jawab: Yang dapat mendengarkan dan melihat itu adalah ruh.
Tandanya, ketika anda tidur masih dapat melihat dan mendengarkan suara (mimpi).
Padahal orang yang meninggal itu yang terjadi berpisahnya ruh dengan
jasad, dimana jasad rusak, akan tetapi ruh tetap.
32. Soal: Apakah
keterangan tersebut ada dalilnya?
Jawab: Ketika Abu Jahal dan kawan-kawannya mati dalam peperangan
kemudian dimasukkan ke dalam lubang sumur, selanjutnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil;
يَا اَبَاجَهَلْ اِبْنَ هِشَامْ – يَا اُمَيَّةَ ابْنَ
خَلَفٍ – يَا عُتْبَةَ ابْنَ رَبِيْعَةَ : اَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ مَا
وَعَدَكُمْ رَبُّكُمْ حَقًّا فَاِنِّى قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِى رَبِّى حَقًّا
Ya Abu Jahal Ibn Hisyam, ya Umayyatabna Khalafin, ya ‘Utbatabna Rabi’ata alaisa
qad wajad tum ma wa’adakum rabbukum haqqan, fa inni qad wajadtu ma
wa’adani rabbi haqqan
Artinya: Hai Abu Jahal, Umayyah, ‘Utbah, apakah kalian
semua sudah menemukan janji tuhan kalian? Kalau aku sudah menemukan janji
Tuhanku nyata-nyata benar.
Ketika itu sahabat Umar bertanya kepada Rasulullah;
يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَكَلَّمُ اَجْسَادًا لاَ اَرْوَاحَ فِيْهَا
Ya Rasulullah kaifa takallamu ajsadan la arwaha fiha
Artinya: Wahai Rasulullah, bagaimana Rasulullah berbicara
dengan jasad yang sudah tidak bernyawa lagi?
Rasulullah menjawab;
وَالَّذِىْ
نَفْسِ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِاَسْمَعَ لِمَا اَقُوْلُ فِيْهَا مِنْهُمْ
walladzi nafsi biyadihi ma antum bi asma’a lima aqulu
fiha minhum
Artinya:
Demi Allah dzat yang menguasai diriku, kalian semua tidak
lebih mendengar atas apa yang aku sampaikan, melebihi dari mereka semua (Rawahul
Bukhari wa Muslim min haditsi Anas ‘an Abi Thalhah).
33. Soal: Akan tetapi ada
ayat yang menjelaskan bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat
mendengarkan, yaitu ayat;
وَمَا اَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ.
wa ma anta bimusmi’in manfil qubur, dan ayat ;
اِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى
innaka la tusmi’ul mauta.
Jawab: Ayat tersebut jangan dipandang lahirnya saja. Sebab yang
dimaksudkan man fil qubur dan al-mauta tersebut adalah orang
kafir.
Jadi orang-orang kafir disamakan dengan orang yang sudah mati di dalam
kubur. Orang yang ada di dalam kubur tersebut, jika dipanggil dapat mendengar,
tetapi tidak dapat menjawab.
Demikian juga dengan orang-orang kafir, jika diberi nasehat dapat
mendengarkan, akan tetapi tidak mau mengikuti. Anda amati saja terus ayat-ayat
tersebut.
وَلاَ تُسْمِعُ
الصُّمَّ الدُّعَاءَ اِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ
Wala tusmi‘ush shummaddu’a-a idza wallau mudbirin.
Mudbirin itu artinya lari ke belakang. Padahal yang dimaksudkan mauta
tadi orang-orang yang benar-benar sudah meninggal. Apakah mereka dapat lari ke
belakang?
Sampai disini
dulu.
Lain waktu
dapat disambung lagi.
Rembang, Jumadil
‘Ula 1374 H
Profil
Pondok Pesantren Putra Putri Assalafiyyah
Karangwangkal-Purwokerto;
Merupakan pusat pendidikan dan pengajaran Islam ‘ala ahlussunnah
wal jama’ah. Mengajarkan berbagai kitab klasik aqidah, fiqh hingga tasawwuf,
sekaligus menekankan pada laku spiritual yaitu dengan pengamalan ajaran
tasawwuf melalui thariqah. Disamping hal itu juga menyelenggarakan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar, selain kegiatan pertanian dan ketrampilan untuk
membangun semangat kerja dan kemandirian santri.
Pondok Pesantren Putra Putri Assalafiyyah, sebagai pusat
pengajaran dan pengamalan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, dibawah
bimbingan mursyid Mbah KH Syarif Nurkholis, menyelenggarakan kegiatan rutin
dzikir khataman setiap malam Selasa dan Jum’at, serta kegiatan rutin welasan
setiap tanggal 11 bulan Hijriyah dan Haul Sulthanul Awliya’ Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani RA setiap tanggal 11 Rabi’ul Tsani.
Risalah IJTIHAD - TAQLID KH Bisri Musthofa
Reviewed by Majelis Welasan
on
Agustus 10, 2018
Rating:
Tidak ada komentar