Pentingnya Berthoriqoh Mu'tabaroh


MUQADDIMAH





اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.
اِلهِيْ اَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ اَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَمَعْرِفَتَكَ
Para kekasih Allah (waliyullah) adalah orang-orang yang pada masa hidupnya senantiasa dalam ketaatan kepada Allah. Waliyullah adalah orang yang ikhlas, jasmani dan rohaninya, hati dan nafasnya tidak lepas dalam berdzikir kepada Allah. Para Waliyullah pada akhir masa hidupnya senantiasa dalam keadaan sedang mengingat Allah, meninggal dunia dalam keadaan mencintai Allah dan husnul khatimah.
رَبِّ فَانْفَعْنَا بِبَرْكَتِهِمْ    وَاهْدِنَاالْحُسْنَى بِحُرْمَتِهِمْ  
وَاَمِتْنَا فِى طَرِيْقَتِهِمْ      وَمُعَافَاةٍ مِنَ الْفِتَنِ
Ulama terlebih yang mencapai derajat waliyullah diibaratkan lampu penerang dunia. Kematian seorang ulama menjadikan dunia menjadi makin gelap karena mereka memiliki ilmu, dan ilmu adalah cahaya. Dari mana ulama dan waliyullah mempunyai ilmu? Tidak ada satupun ilmu yang dimiliki oleh ulama dan waliyullah kecuali bermuara dari Nabi. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw. “innal ‘ulama` waratsatul anbiya` (Hadis Riwayat Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi)(Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi). Para ulama dikatakan sebagai pewaris para Nabi, karena merekalah yang mewarisi ilmunya para Nabi. 
Nabi saw. bersabda yang artinya bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mencabut dengan serta merta suatu ilmu dari umat setelah Dia memberikannya kepada mereka, akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dari umat bersamaan dengan dicabutnya nyawa (wafatnya) ulama beserta (dicabutnya) ilmu mereka (Hadis Riwayat Imam Al-Bukhari). Dengan demikian, kita merasa prihatin dengan keadaan zaman sekarang, dimana kita hidup dalam situasi dan kondisi langkanya ulama di sekitar kita. Memang, masih ada di sekeliling kita beberapa ulama di bidang syari’at, namun ulama yang ahli di bidang tasawwuf dan pengamalan thariqah sekarang hampir punah. Belum lama, kita kehilangan tokoh-tokoh ulama thariqah yang wafat meninggalkan umat, dan kebetulan beliau-beliau adalah Mursyid Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah, yakni Al-Maghfurlah K.H. M. Asrori Usman Al-Ishaqy Surabaya, dan Al-Maghfurlah K.H. Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) Suryalaya. Adapun, ulama-ulama Mursyid Thariqah seperti Syekh Muhammad Sanusi Langen-Banjar Jawa Barat, Syekh Muhammad Nur ‘Abdurrahim Busthomil Karim Lampung, Syekh Muslih ‘Abdurrahman Mranggen-Demak (rahimahumullah), dimana beliau-beliau adalah “Guru-Guru Besar” saya dan juga banyak murid yang menimba ilmu mereka dari berbagai penjuru daerah, mereka adalah ulama-ulama yang telah memancarkan cahaya yang terang benderang kepada umat dan hingga sekarang sangat sulit untuk mencari pengganti mereka. 
Dalam mendidik umatnya, Nabi Muhammad saw. mengajarkan tiga hal utama, yakni islam, iman dan ihsan. Hal ini tersebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi saw. ditanya oleh seorang laki-laki (yang ternyata adalah Malaikat Jibril) yang artinya: “Wahai Muhammad beritakan kepadaku tentang Islam. Rasulullah menjawab, ‘Hendaknya Engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan haji jika mampu’. (Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi), beritakan kepadaku tentang iman. Rasulullah menjawab, ‘Hendaknya Engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan beriman kepada qadar (taqdir) Allah yang baik maupun yang buruk. (Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi), beritakan kepadaku tentang ihsan. Rasulullah menjawab, ‘Hendaknya Engkau beribadah kepada Allah (dengan merasa) seolah-olah Engkau melihat-Nya, dan apabila Engkau tidak mampu melihat-Nya, maka (hendaknya Engkau merasa yakin) sesungguhnya Allah melihatmu.” 
Penjelasan mengenai makna Islam sebagaimana tersebut dalam hadis di atas, di antaranya menjadi objek kajian ilmu Fiqh, sedangkan penjabaran mengenai makna iman banyak dikaji dalam ilmu Tauhid atau ilmu ‘Aqidah. Sedangkan pembahasan mengenai ihsan menjadi objek kajian ilmu Akhlaq dan ilmu Tasawwuf. Dalam ilmu Tasawwuf, jalan yang mudah untuk bisa mencintai Allah, untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara ruhaniah) dengan Allah, dan untuk bermakrifat kepada Allah bisa dilalui dengan berthariqah melalui bimbingan guru/mursyid. Thariqah sering juga dimaknai sebagai jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan diikuti oleh para sahabat, kemudian tabi’in dan tabi’it tabi’in turun temurun sampai pada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini. Lebih khusus lagi, thariqah menurut ulama tasawwuf biasa dimaknai sebagai sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa (riyadlah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji serta memperbanyak dzikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan ridla Allah.
Mengenai pentingnya thariqah, ada satu pengalaman pribadi saya yang bisa diambil pelajaran dan hikmah. Saat itu saya masih muda dan sedang tekun-tekunnya mendalami Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah dengan bimbingan Mursyid Kamil al-‘Arif billah Syekh Muhammad Sanusi Langen, Banjar, Jawa Barat dan al-‘Arif billah Syekh Muhammad Nur Abdurrahim Busthamil Karim, Pringsewu, Lampung. Saat itu saya masih bekerja di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kawunganten Cilacap. Pada suatu hari ada seorang alim yang bernama Kyai Mas’ud, yang sangat tersohor kealimannya dan menguasai serta hapal banyak sekali kitab kuning sehingga beliau dijuluki “kitab mlaku”. Pada saat itu Kyai Mas’ud mengetahui bahwa saya sangat giat mengajak masyarakat sekitar untuk berbaiat thariqah. Kyai Mas’ud merasa keberatan dengan dakwah yang saya lakukan sehingga suatu hari ketika saya lewat di depan rumahnya beliau mempersilahkan saya untuk mampir. Merasa dipanggil oleh seorang kyai masyhur, kemudian saya mampir ke rumah beliau. Setelah saya dipersilahkan duduk kemudian Kyai Mas’ud duduk di sebelah saya lalu secara halus mengutarakan keberatannya dengan berkata, “mas njenengan dados santri sing teliti nggih, ngajaki tiyang bodho-bodho boten ngertos napa-napa ken pada bengat thariqah. Niko kula wonten kitab bab thariqah sak menten-menten mawon kula dereng wantun bengat thariqah. Sebab thariqah niku ilmu kewalian.”
(Mas, Anda jadi santri yang teliti ya, mengajak orang-orang bodoh belum mengerti apa-apa untuk berbaiat thariqah. Saya saja yang punya kitab tebal-tebal (sambil tangannya mengisyaratkan tebalnya kitab-kitab koleksinya) yang menerangkan tentang thariqah belum berani baiat thariqah, sebab thariqah itu ilmu kewalian). Setelah beliau selesai mengutarakan maksudnya suasana menjadi hening. Di saat keheningan tersebut kemudian saya menjawab dengan singkat dan tegas “nuwun sewu, thariqah niku boten namung ilmu kewalian, thariqah niku nggih ilmu kewalian, ilmu kenabian lan ilmu ketuhanan. Sebab ilmunipun wali nggih saking Nabi, ilmunipun Nabi nggih saking Pengeran.” (Mohon maaf, thariqah itu bukan saja ilmunya wali, thariqah itu ya ilmunya para wali, ilmunya para Nabi, ilmunya Allah. Sebab ilmunya wali ya dari Nabi, ilmunya Nabi ya dari Allah). Saya kemudian menukil satu syair dari Kitab Zubad yang berbunyi:
اَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى اْلإِنْسَانِ     مَعْرِفَةُ اْلإِلهِ بِاسْتِيْقَانِ
Artinya: Pertama kali yang diwajibkan bagi setiap manusia adalah mengenal Tuhannya dengan yakin.
Setelah itu, Alhamdulillah Kyai Mas’ud bisa menerima pesan yang keluar melalui lisan saya.
          Beberapa hari kemudian saya silaturrahim ke tempat K.H. Mustholih Badawi, seorang Mursyid Thariqah Syathoriyyah yang saat itu mengasuh Pondok Pesantren Ihya’ Ulumaddin Kesugihan, Cilacap. Kepada beliau saya menceritakan pengalaman saya di atas dengan Kyai Mas’ud. Setelah mendengar cerita tersebut, K.H. Mustholih Badawi sangat gembira dan bersyukur, bahkan beliau mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah lama berniat untuk memberi nasehat kepada Kyai Mas’ud mengenai cara pandang yang tepat terhadap pentingnya pengamalan thariqah. Namun, ternyata saya lebih dulu bertemu Kyai Mas’ud dan terhadap nasehat yang telah saya sampaikan kepada Kyai Mas’ud diterima beliau dengan sikap positif. Akhirnya, K.H. Mustholih berterima kasih atas apa yang telah saya lakukan.
       Pada pengalaman lain, Almarhum Dr. K.H. Nur Iskandar Al Barsani, seorang kyai terkenal di Banyumas (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci, Purwokerto), pada masa-masa akhir hidupnya beliau masih sangsi dan ragu mengenai amaliah thariqah. Kepada saya beliau bercerita bahwa sudah lima tahun dirinya diajak oleh Almaghfurlah K.H. Muhaiminan Gunardo Parakan dan Habib Luthfi bin Ali bin hasyim bin Yahya Pekalongan (Rais ’Am Jam’iyyah Ahlith Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyyah) untuk mengamalkan ajaran thariqah (berbai’at) namun dirinya  masih merasa ragu-ragu dan belum bersedia berbai’at thariqah. Beliau merasa keberatan berbai’at thariqah dengan alasan bahwa baiat thariqah hukumnya sunnah tetapi mengapa mengamalkannya menjadi wajib. Pernyataan-pernyataan yang diucapkannya di atas sebenarnya tidak tepat, hal tersebut terjadi karena ketidaktahuannya mengenai hukum berthariqah yang sebenarnya. Selanjutnya, pada kesempatan yang tepat secara tegas saya mengatakan kepadanya dengan intonasi yang cukup keras ”pegat bojomu!, ngarah bojo ora kanti, baiat thariqah keweden”. Alhamdulillah atas ijin Allah beliau paham terhadap makna perkataan singkat saya. Makna ungkapan kata-kata saya di atas mengandung arti, bahwa kalau hukum nikah itu sunnah, namun setelah menikah maka mendidik, membimbing, menafkahi istri dan anak hukumnya menjadi wajib. Pernyataan saya kepada K.H Nur Iskandar di atas sebenarnya untuk menyindirnya dalam hal keinginannya yang lebih mementingkan menikah dari pada berbai’at thariqah. Setelah peristiwa tersebut tidak lama kemudian akhirnya alhamdulillah K.H. Nur Iskandar berbai’at thariqah Syadziliyyah di hadapan Habib Luthfi  bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Dengan membaca buku ini, saya berharap kepada pembaca semakin tumbuh rasa cinta kepada ulama dan wali, menziarahi makam mereka dan meneladani akhlak dan mengambil pelajaran dari riwayat perjalanan hidup mereka. Dalam buku ini, seorang waliyullah yang bernama Syekh Jambukarang dapat sampai dekat (wushul) dengan Allah SWT, beliau juga melalui bimbingan seorang guru yang kamil yaitu Syekh Maulana Maghribi/Syekh Atas Angin. Begitu pula para penerus mereka bisa sukses berdakwah tidak hanya di Bumi Cahyana tapi menyebar ke Tegal, Pekalongan, Cirebon, Banjarnegara sampai ke Pulau Karimunjawa tidak lain karena melalui wasilah guru-gurunya. Mereka awalnya adalah menjadi murid yang taat dan akhirnya menjadi sukses karena berkat wasilah gurunya, menjaga adab yang baik, sangat patuh dan ikhlas lahir batin dipimpin oleh gurunya. Itulah metode thariqah sebagaimana Rasulullah mendidik para sahabatnya.
Seseorang yang mengharapkan untuk bisa wushul ke hadirat Allah tanpa melalui thariqah sangatlah sulit. Sebagaimana kisah yang saya peroleh langsung dari Kyai Ibrahim - Jawar, Mojotengah, Wonosobo. Kyai Ibrahim bercerita kepada saya bahwa beliau saat muda belajar ilmu syariat dengan nyantri di tempat Kyai Chudlori Tegalrejo Magelang. Setelah cukup lama menimba ilmu di Tegalrejo beliau pulang ke kampung kemudian melanjutkan nyantri mendalami ilmu tasawwuf dengan berbaiat Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah kepada ayahnya (Kyai Abdul Aziz) yang kebetulan seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Sampai akhirnya suatu hari ayahnya memberi kabar bahwa dirinya akan diangkat menjadi mursyid. Sebelum Kyai Ibrahim diangkat menjadi mursyid beliau sowan kepada guru syariatnya Kyai Chudlori di Tegalrejo. Sesampainya di Tegalrejo beliau mengutarakan kabar bahwa dirinya akan diangkat mursyid Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah oleh ayah sekaligus guru mursyidnya Kyai Abdul Aziz. Mendengar berita tersebut Kyai Chudlori sangat senang kemudian beliau menjawab “iya, bagus banget, wushul maring Gusti Allah tanpa baiat thariqah iku banget kangelane, kaya aku iki.” (ya, bagus sekali, sebab untuk wushul ke hadirat Allah SWT tanpa dengan berbaiat thariqah itu sangat sulit, contohnya seperti saya ini). Pengalaman tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa seorang yang sudah ‘alim sekelas Kyai Chudlori sekalipun merasakan bahwa untuk wushul dan ma’rifat ke hadirat Allah tetap harus mau berbaiat dan mengamalkan thariqah secara tekun.
Adapun kisah yang lebih mengagumkan lagi tentang pentingnya pengamalan thariqah telah diteladankan oleh para Imam Madzhab sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab Risalah Tuntunan Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah jilid 2 karangan Syekh Muslih Mranggen. Dikisahkan dalam kitab tersebut bahwa Imam Ahmad bin Hanbal sebelum berbaiat thariqah pernah berwasiat kepada anaknya yang bernama ‘Abdullah, “Wahai anakku, kamu tekunlah belajar ilmu hadis saja, jangan sekali-kali bergaul dengan para ahli thariqah karena mereka adalah orang-orang bodoh dalam memahami hukum Islam.” Di kemudian hari setelah Imam Ahmad bin Hanbal menyaksikan langsung hal ahwal dari para ahli thariqah, akhirnya beliau berbaiat thariqah di hadapan Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi radliyallahu ‘anhu. Selanjutnya beliau meralat pesan yang dulu pernah disampaikan kepada ‘Abdullah anaknya, “Wahai anakku, segeralah kamu berbaiat thariqah dan bergaullah dengan ahli thariqah karena ternyata kualitas ibadah mereka melebihi kita ahli syariat lantaran tingginya dalam  ma’rifatullah, muraqabah, takut kepada Allah, zuhud dan wira’i.”
Imam Sya’rani berkata di dalam kitab Al-Ajwibah Al-Mardliyyah, “Sesungguhnya Imam Syafi’i banyak bergaul dengan para ahli thariqah. Imam Syafi’i berfatwa bahwa seorang ‘alim fiqih harus mengerti dan berbai’at thariqah, harus belajar kepada ahli thariqah agar mendapat pelajaran ma’rifat billah. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal keduanya istiqamah menghadiri halaqah dzikir (majelis dzikir), mengikuti tahlil, khataman, tawajjuhan di tempat guru mursyidnya Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi (Thariqah Hamzawiyyah). Para ahli syariat merasa heran atas aktivitas kedua imam madzhab tersebut, mengapa seorang ‘alim fiqih sekelas Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal mau secara rutin tahlilan, khataman, tawajjuhan menghadiri halaqah dzikir sehingga mereka bertanya “Wahai Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, Tuan adalah imam madzhab. Mengapa Tuan istiqamah hadir ke halaqah dzikir, padahal itu adalah majelisnya orang-orang bodoh, tidak mendalami ilmu syariat Islam?” Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Sesungguhnya ahli thariqah bukanlah orang bodoh seperti yang kalian sangka, yang mereka kerjakan adalah persoalan yang paling pokok yaitu taqwa kepada Allah, cinta kepada Allah dan ma’rifatullah.
Demikian juga Imam Abu Hanifah (Imam madzhab Hanafi) berkata, “Saya berbaiat thariqah di hadapan Al-Imam Ja’far Shadiq ra. dan mengikuti beliau selama dua tahun. Andaikan selama dua tahun tersebut saya tidak berbaiat thariqah sudah pasti kerusakan (kesesatan) akan menimpaku.” Selanjutnya diriwayatkan bahwa Imam Malik (Imam madzhab Maliki) memiliki banyak karya tulis yang menerangkan masalah ilmu falak, ilmu riyadlah an-nafsi, ilmu batiniyah, ilmu thariqah dan ilmu tasawwuf, itu semua diperoleh setelah beliau berbaiat dan berguru kepada Al-Imam Ja’far Shadiq ra.
Dari semua kisah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa para Imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) semuanya adalah ahli syari’at, ahli thariqah, ahli hakikat, dan ahli ma’rifat billah, begitu pula ulama-ulama pengikut mereka. Para tokoh ulama pengikut dari imam-imam madzhab, di antaranya dari kalangan ulama Hanafiyah adalah Ibnu Al-Hammam, Ibnu Asy-Syalabi, Imam Syaranbalali, Khairuddin Ar-Ramli, Imam Al-Hammuwi. Dari kalangan ulama Syafi’iyyah di antaranya adalah Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdus Salam, Imam Ghazali, Imam Subki, Imam Suyuthi, Syaikh Al-Islam Qadhi Zakariya Al-Anshari, Syihabuddin Ibnu Hajar. Dari kalangan ulama Malikiyah di antaranya adalah Sayyid Abul Hasan Asy-Syadzili, Abul ‘Abbas Al-Marsi, Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, Ibnu Hamzah, Nashiruddin, Imam Zaruqi. Dari kalangan ulama Hanabilah di antaranya adalah Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jilani r.a.,  Imam Fakhrul Islam, Syaikh ‘Abdullah Al-Anshari, dan Ibnu An-Najar. Mereka semua adalah para ulama  ahli syari’ah, ahli thariqah, ahli haqiqah dan ahli ma’rifat billah. Demikian keterangan yang dipaparkan oleh Syaikh Muslih Mranggen dalam kitabnya Risalah Tuntunan Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah juz 2 yang dinukil dari kitab Ushul Ath-Thuruq karya Syaikh Ahmad Al-Kamasykhanawi An-Naqsyabandi Al-Mujaddidi Al-Khalidi.
Mencermati kisah para waliyullah di Bumi Cahyana dapat dinyatakan bahwa Syekh Jambukarang yang sebelumnya penganut ajaran Hindu kemudian menjadi Muslim yang taat sampai diangkat derajatnya oleh Allah menjadi wali agung tidak lain karena berkat beliau mau berbaiat dan mengikuti bimbingan secara total dari gurunya yaitu Syekh Maulana Maghribi/Syekh Atas Angin. Begitu pula wali-wali penerus mereka dari mulai Syekh Makhdum Husen sampai Kyai Pekih dan Mas Barep, sambung sinambung bagaikan rantai yang tidak terputus mereka mendapat derajat yang luhur di sisi Allah bukanlah faktor darah keturunan, tetapi karena ketakwaan mereka kepada Allah, juga rasa cinta yang tulus dan patuh mereka kepada guru sehingga Allah membuang penyakit-penyakit hati mereka lalu membukakan hati mereka sebagaimana Allah telah membukakan hati guru-guru mereka sampai ke Rasulullah saw.  
Itulah sebabnya saya mengajak kepada para pembaca untuk meneladani dan mengikuti jejak langkah Syekh Jambukarang, meneladani dan mengikuti jejak Syekh Maulana Maghribi dan para penerusnya. Ikutilah jejak mereka dalam menjalani Islam secara lengkap, dengan melaksanakan syariat dan mengamalkan thariqah sejak dini secara istiqamah. Bagi yang belum berthariqah, mintalah baiat dan bimbingan kepada seorang mursyid yang kamil. Ikutlah aturan yang ditetapkan oleh guru mursyid dengan tulus dan ikhlas insya Allah hati kita akan semakin hidup, bersih, bersinar, dilimpahi rahmat dan ilmu yang bermanfaat, semakin bertambah ma’rifat kepada Allah, menjadi insan yang ihsan, semakin ringan dalam mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya, hidup selamat dan bahagia di dunia dan di akherat kelak, masuk surga dikumpulkan bersama para guru, para waliyullah serta Rasulullah saw. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Adapun terbitnya buku ini tidak lain adalah karunia dari Allah SWT. Terbitnya buku ini di antaranya adalah dimaksudkan sebagai sarana dakwah bagi saudara-saudara Muslim, khususnya di wilayah Purbalingga dan sekitarnya. Hal ini berawal dari perjalanan perjuangan saya dalam menyebarkan thariqah pada tahun 1973 di Dusun Kemenyep, Desa Simega, Kecamatan Petung Riyono, Kabupaten Pekalongan. Kemenyep adalah sebuah daerah terpencil dan terisolir. Saat itu saya berjalan kaki dari Kalibening, Banjarnegara menuju Kemenyep, karena begitu payah dan lelah akhirnya saya istirahat di tengah hutan, saya duduk di atas sebuah batu besar sambil bermunajat mengadu kepada Allah SWT. “Gusti, tiyang mriki kula tuntun-tuntun, kados pundi sederek kula Purbalingga, Kula niki tinakdir teng Panjenengan lahire teng wilayah Kabupaten Purbalingga (Maribaya)” (Ya Allah, masyarakat Kemenyep yang begitu jauh dan sulit dijangkau saja saya tuntun untuk belajar mengenal-Mu, bagaimana dengan saudara-saudara saya di Purbalingga, karena saya ini telah Engkau takdirkan lahir di wilayah Kabupaten Purbalingga, yakni di Desa Maribaya Kecamatan Karanganyar). Alhamdulillah, setelah saya berdoa sebagaimana di atas, sekitar dua bulan kemudian banyak warga dari Desa Karangjambu, Sanguwatang, Sirandu dan Siwagu (Kec. Karangjambu) berbaiat Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah kepada saya, dan selanjutnya juga cukup banyak warga dari daerah Kecamatan Bojongsari dan Kutasari berbaiat thariqah kepada saya. Kemudian pada masa-masa berikutnya sampai hari ini insyaAllah saudara-saudara Muslim dari daerah Kabupaten Pemalang, Pekalongan, Batang, Cilacap, Banyumas dan beberapa daerah di wilayah propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat bahkan Sumatera juga mau berbaiat thariqah dan sebagian mau mengaji di Pondok Pesantren Assalafiyyah Karangwangkal-Purwokerto.
Peristiwa saya berdoa ketika di Kemenyep sebagaimana tersebut di atas tidak lain didasari oleh rasa syukur saya yang telah dilahirkan dan dididik oleh kedua orang tua saya (keduanya telah wafat) yang bermukim di Desa Maribaya Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga, yaitu Kyai Haji Muhammad Irsyad dan Nyai Halimah (semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya serta menganugerahkan kedudukan yang mulia kepada keduanya di sisi-Nya. Amin). Meskipun Kyai Irsyad bukanlah termasuk ulama besar, namun beliau semasa hidupnya adalah sebagai seorang Kyai Desa yang sangat semangat dan sukses dalam memperjuangkan agama Islam. Beliau rajin dalam ber-riyadlah dan melakukan tirakat, hidup sederhana, zuhud dan bersahaja serta penuh keteladanan. Beliau sangat berjasa dalam berdakwah dan mendidik masyarakat Desa Maribaya dan sekitarnya, terlebih kepada diri saya dengan sangat disiplin dan teliti, sehingga beliaulah yang pertama kali membentuk akhlak, karakter dan kepribadian saya.  Kyai Irsyad adalah ayah sekaligus guru pertama saya. Banyak sekali pelajaran berharga yang saya dapatkan dari beliau, di antaranya adalah saya digembleng untuk mencintai Allah, mencintai Rasulullah, mencintai para waliyullah, mencintai orang-orang shalih, gemar beribadah, cinta dan rajin menuntut ilmu agama Islam (ngaji), dilatih untuk hidup zuhud, hidup sederhana dengan rela menerima apa adanya (sikap qana’ah dan ikhlas) terhadap pemberian Allah. Dan masih banyak lagi nilai-nilai kebaikan yang telah ditanamkan dan diteladankan oleh Kyai Irsyad kepada umat dan khususnya kepada saya, sehingga saya merasakan buah dan manfaatnya yang sangat berharga hingga sekarang. Setelah wafatnya ayah saya (K.H. Muhammad Irsyad) pada tanggal 27 Dzulqa’dah (Apit) 1388 H, Alhamdulillah hingga sekarang  saya masih bisa istiqamah mengadakan “Peringatan Haul” untuk ayah dan ibu saya setiap tahunnya pada bulan Dzulqa’dah (Apit) dengan lancar. Alhamdulillah, tanah lokasi haul sekarang sudah luas dan sudah menjadi hak milik saya. Tanah lokasi  haul tersebut berada di dekat makam kedua orang tua saya dan sudah ada pendopo makam, juga telah dilengkapi dengan sarana untuk berthaharah (bersuci). Dengan demikian, kaum Muslimin khususnya jama’ah santri-santri Thariqah dan Jama’ah Welasan juga tidaklah keliru jika mereka berziarah ke makam Kyai Haji Muhammad Irsyad di Maribaya, apalagi posisi Desa Maribaya masih dalam satu jalur perjalanan ziarah menuju makam para waliyullah di Bumi Cahyana.
Demikian pengantar dari buku ini yang bisa saya sampaikan. Semoga kehadiran buku ini menjadi lantaran dibukanya hati para pembaca untuk semakin mencintai Allah, Rasulullah, para waliyullah, dan orang-orang shalih. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan maghfirah-Nya kepada kita, guru-guru kita, orang-orang tua kita, keluarga dan anak-anak keturunan kita, serta saudara-saudara kita Muslimin dan Muslimat semuanya di manapun berada. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk kepada kita semua ke jalan yang benar dan diridlai-Nya. Amin. Mohon maaf atas segala kekurangan, kesalahan dan kekhilafan.
Wallahu A’lam bish-shawab, Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


K.H. Syarif Nur Kholis bin K.H. Muhammad Irsyad
Mursyid Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah
Karangwangkal-Purwokerto


Pentingnya Berthoriqoh Mu'tabaroh Pentingnya Berthoriqoh Mu'tabaroh Reviewed by Majelis Welasan on Agustus 10, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar